Mei, Aku Pulang
Rabu, 09 September 2020
Rabu, 09 September 2020
Sajak
Teruntuk setiap kenangan indah yang pernah kau dan aku ukir, aku pulang. Aku pulang dengan segudang kisah yang selama ini selalu ingin kuceritakan padamu. Tentang bagaimana aku tanpamu, tentang bagaimana aku yang berusaha untuk tak membanggakanmu lagi.
Katanya, berpisah tidak sesakit saat kau berusaha bertahan, ketika kedua hati tak memiliki rasa lagi. Katanya, ia mengajarkan untuk saling menjaga, tapi berpisah bukan menjadi larangannya. Sebagian besar dari katanya-katanya itu hanyalah penenang belaka. Karena meski sudah berkali kucoba, meski aku berhasil menutupi luka dalam tawa, dan meski tawa bisa berdusta, namun pada akhirnya kenyataan tetap memangkas semuanya.
Tak peduli sekuat apapun aku bertahan, ia selalu hadir sebagai buah dari penyesalan. Karena, kau tak akan pernah lagi ada dalam ‘kita’ ku, dan yang tersisa dari kita yang dulu hanyalah cerita-cerita klise indah, yang hanya abadi dalam kenangan.
Sudahlah, kisah kita adalah kisah yang indah. Tak perlu sesedih ini untuk menceritakannya. Kita tidak salah ketika memulai untuk bersama dulu. Kita tak salah, ketika kita memutuskan untuk saling membahagiakan, begitu pula saat masing masing dari kita, memilih untuk menikmati dunia luar tanpa saling terikat kembali.
Kita sudah berpisah cukup lama, namun kenangan ini masih saja tak mau pergi. Entah siapa yang tak mau mengalah, entah kenangan yang terlalu gigih untuk tetap mempertahankan dirinya disana atau aku yang terlalu kukuh bahwa dirimu akan kembali seperti dulu.
Apakah aku salah ? Apakah merindukanmu salah? Apakah menyertakan tawamu dalam setiap hembusan nafasku kini adalah salah? Sempatku berfikir, saat bersamaku bahagiakah yang kau rasakan? Atau malah sekedar kenyamanan belaka agar kau tak merasa sendirian?
Sudahlah. Mari akhiri sajak sedih ini, kurasa untuk waktu dekat aku akan kesulitan menemukan jalan pulang, dan sedikit berbincang dengan rindu juga kenangan dikala dirimu tertawa dan membicarakan masa depan dengan dia yang kini kau panggil penuh rasa, ‘kita’.
Katanya, berpisah tidak sesakit saat kau berusaha bertahan, ketika kedua hati tak memiliki rasa lagi. Katanya, ia mengajarkan untuk saling menjaga, tapi berpisah bukan menjadi larangannya. Sebagian besar dari katanya-katanya itu hanyalah penenang belaka. Karena meski sudah berkali kucoba, meski aku berhasil menutupi luka dalam tawa, dan meski tawa bisa berdusta, namun pada akhirnya kenyataan tetap memangkas semuanya.
Tak peduli sekuat apapun aku bertahan, ia selalu hadir sebagai buah dari penyesalan. Karena, kau tak akan pernah lagi ada dalam ‘kita’ ku, dan yang tersisa dari kita yang dulu hanyalah cerita-cerita klise indah, yang hanya abadi dalam kenangan.
Sudahlah, kisah kita adalah kisah yang indah. Tak perlu sesedih ini untuk menceritakannya. Kita tidak salah ketika memulai untuk bersama dulu. Kita tak salah, ketika kita memutuskan untuk saling membahagiakan, begitu pula saat masing masing dari kita, memilih untuk menikmati dunia luar tanpa saling terikat kembali.
Kita sudah berpisah cukup lama, namun kenangan ini masih saja tak mau pergi. Entah siapa yang tak mau mengalah, entah kenangan yang terlalu gigih untuk tetap mempertahankan dirinya disana atau aku yang terlalu kukuh bahwa dirimu akan kembali seperti dulu.
Apakah aku salah ? Apakah merindukanmu salah? Apakah menyertakan tawamu dalam setiap hembusan nafasku kini adalah salah? Sempatku berfikir, saat bersamaku bahagiakah yang kau rasakan? Atau malah sekedar kenyamanan belaka agar kau tak merasa sendirian?
Sudahlah. Mari akhiri sajak sedih ini, kurasa untuk waktu dekat aku akan kesulitan menemukan jalan pulang, dan sedikit berbincang dengan rindu juga kenangan dikala dirimu tertawa dan membicarakan masa depan dengan dia yang kini kau panggil penuh rasa, ‘kita’.
Dengar, aku sudah berusaha untuk melupakanmu sewajar-wajarnya. Bila kau merasa ada perasaan hangat saat aku tersenyum padamu; itu hanya kenangan perasaanmu saja.
Aditya Januardi
9 Mei 2018